Mencoba Track Batang Alai HST
KAWASAN Batang Alai Utara (Barabai , Hulu Sungai Tengah) memang menyajikan suguhan rute menarik untuk melakukan aktivitas bersepeda, ternyata masih banyak rute atau track yang jarang di jamah goweser Kalimantan Selatan, variasi tracknya menambah kesan saat mengeksplor track di kawasan Batang Alai tersebut.
Seperti yang dilakukan Rein Sugie
(Ririn Sugianor), Budi B-Cex (Budimin), Ricco Ebes (Rahadi Iswanto) dan Yon Wilis (Rahayon), keempat goweser asal Amuntai dan Barabai tersebut mencoba track tersebut.
Start dari desa Nateh menuju desa Tandilang keempatnya sudah disuguhi pemandangan yang menawan diantara perbukitan atau batu kapur yang berjejer rapi. Bukit tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama Jajar Pitu (berjejer tujuh).
“Karena ingin sedikit melewati jalan aspal, kami memilih rute off road yang jarang dilewati dan tertutupi oleh pepohonan yang rindang sehingga sepanjang perjalanan sangat sejuk,” ungkap Rein.
Dari desa Tandilang menuju desa Atiran melewati rute aspal (on-road) karena hanya ini jalur yang tersedia, tapi tak kalah menariknya dari rute sebelumnya. Disini terlihat kawasan Pegunungan Meratus dan juga gunung tertinggi di Kalimantan Selatan yakni Gunung Halau-Halau.
Sensasi sesungguhnya tersaji dari Desa Atiran menuju Desa Muara Hungi hingga Desa Pambakulan. Semuanya jalur off-road dan membelah Pegunungan Meratus, ditambah derasnya guyuran hujan menambah licin rute yang dilewati, beberapa kubangan lumpur serta melewati tanah kuning yang membuat ban sepeda layaknya donat. Menurut Budi B-Cex, jalur ini tidak begitu tinggi namun karena banyaknya kubangan lumpur dan bekas ban kendaraan jadi ada beberapa kilometer sepeda hanya didorong saja, “Tapi terbayarkan saat melihat pemandangan alam yang tersaji disini,” ucapnya.
“Ya terlalu indah untuk dilupakan semua yang telah terlewati walau saat itu sangat menguras tenaga, badan basah kuyup karena keringat dan air hujan,” sahut Yon Wilis.
Dengan Estimasi waktu sekitar 6 jam dari dan sampai ke Desa Nateh kembali, melewati beberapa kampung adat yang sekarang hampir tidak lagi di jamah kendaraan bermotor karena akses yang begitu sulit. Dan beberapa aliran anak sungai tanpa jembatan penghubung yang pasti akses jadi terputus seperti dari Kampung adat Pelampaian sampai ke Kampung Adat Indan, “Disini rute yang kita lewati seperti jalan setapak hanya untuk pejalan kaki,” ujar Ricco Ebes.
“Kita memang bisa melewati rute yang sama, akan tetapi momentum yang terjadi saat itu tidak akan pernah sama di setiap waktu yang berbeda,” pungkas Rein Sugie. (Rein/Radar Cycling).
Foto – Foto : Rein for Radar Cycling